Kisah Bilal dan Adzannya
Oleh: Sya'roni As-Samfuriy
Kisah ini, menunjukkan
betapa mendalam dan besar kecintaan sahabat pada Nabinya, juga bagaimana rasa
rindu yang sangat menyayat hati mereka. Bahkan, sebenarnya sebab wafatnya Abu
Bakar ash-Shiddiq adalah karena terbunuh oleh rindu kepada Nabi yang membakar
hatinya (sebagian riwayat menyatakan, nafas beliau berbau seperti daging yang
dipanggang).
Semua pasti tahu, bahwa
pada masa Nabi, setiap masuk waktu sholat, maka yang mengkumandankan adzan
adalah Bilal bin Rabah. Bilal ditunjuk karena memiliki suara yang indah. Pria
berkulit hitam asal Afrika itu mempunyai suara emas yang khas.
Posisinya semasa Nabi tak
tergantikan oleh siapapun, kecuali saat perang saja, atau saat keluar kota
bersama Nabi. Karena beliau tak pernah berpisah dengan Nabi, kemanapun Nabi
pergi. Hingga Nabi menemui Allah ta’ala pada awal 11 Hijrah. Semenjak itulah
Bilal menyatakan diri tidak akan mengumandangkan adzan lagi.
Ketika Khalifah Abu Bakar Ra.
memintanya untuk jadi mu’adzin kembali, dengan hati pilu nan sendu bilal berkata:
“Biarkan aku jadi muadzin
Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”
Abu Bakar terus mendesaknya,
dan Bilal pun bertanya: “Dahulu,
ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf. Apakah engkau
membebaskanmu karena dirimu apa karena Allah?.”
Abu Bakar Ra. hanya terdiam.
“Jika engkau membebaskanku
karena dirimu, maka aku bersedia jadi muadzinmu. Tetapi jika engkau dulu
membebaskanku karena Allah, maka biarkan aku dengan keputusanku.”
Dan Abu Bakar Ra. pun tak
bisa lagi mendesak Bilal Ra. untuk kembali mengumandangkan adzan.
Kesedihan sebab ditinggal
wafat Nabi Saw., terus mengendap di hati Bilal Ra. Dan kesedihan itu yang
mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan Fath Islamy menuju Syam,
dan kemudian tinggal di Homs, Syria.
Lama Bilal Ra. tak
mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Nabi Saw. hadir dalam mimpi
Bilal, dan menegurnya: “Ya
Bilal, wa maa hadzal jafa’? Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa
sampai begini?.”
Bilal pun bangun
terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah pada
Nabi. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Nabi.
Setiba di Madinah, Bilal
bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Nabi Saw., pada sang kekasih. Saat
itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah
cucunda Nabi Saw., Hasan dan Husein.
Sembari mata sembab oleh
tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Nabi Saw. itu. Salah satu
dari keduanya berkata kepada Bilal Ra.: “Paman,
maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan buat kami? Kami ingin mengenang
kakek kami.”
Ketika itu, Umar bin
Khattab yang telah jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan
itu, dan beliau juga memohon Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali
saja.
Bilal pun memenuhi
permintaan itu. Saat waktu shalat tiba, dia naik pada tempat dahulu biasa dia
adzan pada masa Nabi Saw. Masih hidup. Mulailah dia mengumandangkan adzan.
Saat lafadz “Allahu Akbar”
dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas
terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang
mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, itu telah
kembali.
Ketika Bilal meneriakkan
kata “Asyhadu an laa
ilaha illallah”, seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara
itu sembari berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.
Dan saat bilal
mengumandangkan “Asyhadu
anna Muhammadan Rasulullah”, Madinah pecah oleh tangisan dan
ratapan yang sangat memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama
Nabi. Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun
tak sanggup meneruskan adzannya. Lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai.
Hari itu, madinah
mengenang masa saat masih ada Nabi Saw. Tak ada pribadi agung yang begitu
dicintai seperti Nabi Saw. Dan adzan itu, adzan
yang tak bisa dirampungkan itu, adalah adzan pertama sekaligus adzan
terakhirnya Bilal Ra. semenjak Nabi Saw. wafat. Dia tak pernah bersedia lagi
mengumandangkan adzan. Sebab kesedihan yang sangat segera mencabik-cabik
hatinya mengenang seseorang yang karenanya dirinya derajatnya terangkat begitu
tinggi.
Karenanya, dia dan
bangsanya, tak lagi dipandang remeh oleh bangsa lain, tak lagi termarginalkan. Sebab
kemuliaan seseorang, tidak ditentukan
oleh warna kulitnya, oleh rasnya. Tetapi oleh taqwanya
pada Allah ta’ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar